Pertumbuhan ekonomi triwulan I 2015 tercatat
4,71 persen (year on year/yoy), menurun dibandingkan triwulan sebelumnya, 5,02
persen (yoy). Melemahnya ini sejalan dengan berbagai indikator yang
memang melemah dalam beberapa bulan terakhir. Pelemahan pertumbuhan ekonomi
pada triwulan I 2015 terutama didorong melemahnya kinerja konsumsi pemerintah
dan investasi. Pelemahan pada
konsumsi pemerintah terjadi akibat belum optimalnya penyerapan belanja. Pada
investasi, pelemahan diakibatkan masih adanya sikap wait and see sektor swasta
dan belum berjalannya proyek-proyek pemerintah. Anggaran belanja infrastruktur
pada 2015 sebesar Rp 290 triliun baru dibelanjakan hanya sekitar Rp 7 triliun.Di
sisi eksternal, kinerja ekspor juga menurun sejalan dengan lemahnya permintaan
dan turunnya harga komoditas dunia. Sementara itu, pertumbuhan impor mengalami
penurunan cukup dalam sejalan dengan melemahnya perkembangan permintaan
domestik.
Sejumlah
pejabat resmi (pemerintah dan otoritas moneter) menyatakan bahwa pertumbuhan
ekonomi akan mulai meningkat pada triwulan II 2015. Penyebabnya, pengeluaran
pemerintah, terutama belanja modal pemerintah pada proyek-proyek infrastruktur,
diperkirakan meningkat mulai triwulan II 2015 dan seterusnya. Namun, saya
melihat bahwa risiko tidak tercapainya pertumbuhan ekonomi sebesar 5,7 persen
masih sangat besar. Mengapa? Analisis berikut akan menjelaskannya.
Pada 15 April lalu, IMF kembali merilis proyeksi ekonomi dunia. Dalam outlook-nya, IMF memproyeksikan ekonomi dunia 2015 akan tumbuh 3,5 persen, tidak berubah dibanding proyeksi yang dibuat pada Januari 2015. Namun, IMF melakukan revisi terhadap outlook beberapa negara, seperti Amerika Serikat (AS), kawasan Eropa, Jepang, dan India.Berdasarkan outlook IMF, pada 2015 ini, AS diperkirakan tumbuh 3,1 persen terkoreksi -0,5 persen dibanding outlook IMF pada Januari lalu yang diproyeksikan tumbuh 3,6 persen.
Pada 15 April lalu, IMF kembali merilis proyeksi ekonomi dunia. Dalam outlook-nya, IMF memproyeksikan ekonomi dunia 2015 akan tumbuh 3,5 persen, tidak berubah dibanding proyeksi yang dibuat pada Januari 2015. Namun, IMF melakukan revisi terhadap outlook beberapa negara, seperti Amerika Serikat (AS), kawasan Eropa, Jepang, dan India.Berdasarkan outlook IMF, pada 2015 ini, AS diperkirakan tumbuh 3,1 persen terkoreksi -0,5 persen dibanding outlook IMF pada Januari lalu yang diproyeksikan tumbuh 3,6 persen.
Kawasan Eropa diperkirakan tumbuh 1,5 persen
pada 2015, lebih tinggi 0,3 persen dibanding proyeksi Januari lalu sebesar 1,2
persen. Sementara, Jepang diperkirakan tumbuh 1,0 persen pada 2015 lebih baik
dibanding proyeksi Januari sebesar 0,6 persen. Sedangkan India, kini menjadi
bintangnya Asia karena pada 2015 ini diperkirakan tumbuh 7,5 persen atau lebih
tinggi 1,2 persen dibanding proyeksi Januari lalu sebesar 6,3 persen.Perubahan
outlook ini, termasuk faktor-faktor yang menjadi penyebabnya, tentunya akan
memiliki dampak bagi Indonesia.
Penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS,
misalnya, perlu dicermati karena ini akan berimplikasi pada rencana bank
sentral AS (the Fed) yang akan menaikkan tingkat suku bunga acuannya. Padahal,
kita ketahui bahwa ketidakpastian terkait rencana kebijakan the Fed ini telah
berimplikasi cukup dalam terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah. Penurunan
proyeksi pertumbuhan ekonomi AS antara lain dipengaruhi oleh apresiasi mata
uangnya (USD) yang dalam enam bulan terakhir ini yang menguat hingga 10 persen.
Penguatan USD ini memperlambat laju ekspor AS sehingga berdampak pada perlambatan
pertumbuhan ekonomi AS. Selain itu, laju pertumbuhan investasi di AS juga
mengalami penurunan. Penguatan USD telah menjadi faktor yang tidak
menguntungkan bagi kegiatan investasi sektor manufaktur berbasis ekspor.
Sedangkan, jatuhnya harga minyak telah menyebabkan turunnya investasi pada
sektor migas yang sebelumnya meningkat signifikan dalam beberapa tahun
terakhir.
Salah
satu indikator kemajuan pembangunan adalah pertumbuhan ekonomi, indikator ini
pada dasarnya mengukur kemampuan suatu negara untuk memperbesar outputnya dalam
laju yang lebih cepat daripada tingkat pertumbuhan penduduknya Pertumbuhan
ekonomi juga diartikan secara sederhana sebagai kenaikan output total (PDB)
dalam jangka panjang tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih kecil atau lebih
besar dari laju pertumbuhan penduduk atau apakah diikuti oleh pertumbuhan
struktur perekonomian atau tidak Kuartal 1 2015 pertumbuhan ekonomi Indonesia
sebesar 4.71%. angka tersebut merupakan yang terendah sejak 2002. Melemahnya
pertumbuhan ekonomi pada kuartal 1 2015 disebabkan oleh faktor internal :
penyerapan belanja pemerintah kurang optimal, penurunan konsumsi lembaga
non-prifat, melemahnya sektor ekspor dan impor.
Serta
faktor internal : melemahnya ekonomi global, penurunan harga minyak (liputan6.com)
Kaitan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi adalah Apabila tingkat inflasi
tinggi akan menyebabkan melambatnya pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain inflasi
april 2015 sebesar 6.79% jauh diatas target inflasi BI 4% (+/- 1%).,
sehingga tingginya inflasi 6.79% turut mempengaruhi rendahnya pertumbuhan
ekonomi pada kuartal I 2015, tingginya inflasi disebabkan oleh berbagai faktor
diantaranya fluktuasi harga BBM akibat kebijakan subsidi tetap, hal inilah yang
menyebabkan produsen dalam negeri sulit untuk merencankan usaha, serta bagi
konsumen naiknya harga kebutuhan pokok menyebabkan berkurangnya daya beli
sehingga kondisi yang demikian menyebabkan lesunya perekonomian yang berakibat
terhadap rendahnya pertumbuhan ekonomi.
Sebagai oil net importer, AS semestinya
diuntungkan dengan rendahnya harga minyak. Sebab, pengeluaran BBM mereka
menjadi lebih rendah, bahkan terendah sejak 2003. Sayangnya, rendahnya harga
minyak tersebut tidak dapat dimaksimalkan untuk mendorong konsumsi di AS secara
signifikan. Faktanya, data penjualan ritel di AS dalam dua bulan pertama 2015
justru melemah. Masyarakat AS ternyata menggunakan surplus dari rendahnya harga
BBM bukan untuk konsumsi melainkan ditabung karena suku bunga tabungan yang
mulai meningkat.
Bila proyeksi ekonomi AS diperkirakan lebih rendah maka sebaliknya dengan kawasan Eropa dan Jepang. Kedua perekonomian ini diperkirakan tumbuh lebih baik pada 2015. Kebijakan quantitative easing (QE) yang diambil oleh kedua perekonomian ini menjadi faktor utama di balik perbaikan proyeksi pertumbuhan ekonominya. Kebijakan QE Eropa dan Jepang telah menyebabkan mata uang mereka melemah sehingga mendorong laju ekspor mereka. Kebijakan QE juga menyebabkan tingkat suku bunga menjadi lebih rendah sehingga laju investasi meningkat. Dan, sebagai oil net importer, rendahnya harga minyak juga menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi Eropa dan Jepang.
Dalam konteks Indonesia, hal yang sama juga terjadi. Faktor harga minyak dan nilai tukar masih akan tetap menentukan perkembangan ekonomi Indonesia ke depan. Dalam outlook-nya, IMF masih memproyeksikan pada 2015 ini ekonomi Indonesia tumbuh 5,2 persen tidak berubah dibanding outlook-nya pada Januari lalu. Namun, dalam outlook-nya, IMF menuntut agar Indonesia memperkuat kredibilitas kebijakan makro ekonomi dan makroprudensialnya agar mampu mengendalikan pergerakan nilai tukar rupiah.
Kinerja harga minyak dan nilai tukar rupiah memang cukup berpengaruh terhadap perekonomian nasional. Turunnya harga minyak turut membantu neraca perdagangan Indonesia. Kinerja neraca perdagangan Indonesia Januari-Maret 2015 mencatatkan surplus 2,43 miliar dolar AS, meningkat 129 persen dibanding periode yang sama 2014 yang surplus sebesar 1,06 miliar dolar AS.
Peningkatan kinerja neraca perdagangan ini terutama berasal dari menurunnya impor migas dari sebesar 11,0 miliar dolar AS pada periode Januari-Maret 2014 menjadi sebesar 6,1 miliar dolar AS. Tidak dapat dielakkan bahwa rendahnya harga minyak berada di balik turunnya impor migas tersebut.
Sayangnya, pelemahan nilai tukar rupiah tidak cukup membantu memperbaiki kinerja neraca perdagangan Indonesia. Ekspor Indonesia Januari-Maret 2015 mencapai 39,13 miliar dolar AS, turun dibanding periode yang sama 2014 yang mencapai 44,29 miliar dolar AS. Secara normatif, pelemahan nilai tukar rupiah seharusnya meningkatkan ekspor. Namun yang terjadi, pelemahan rupiah tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal karena permintaan yang berkurang dan harganya jatuh. Akibatnya, pengaruh positif dari pelemahan rupiah ini tidak terlalu kuat dibanding dengan turunnya permintaan dan jatuhnya harga.
Secara mikro dampak pelemahan nilai tukar rupiah dan harga minyak ini juga sudah terlihat. Beberapa perusahaan (terutama BUMN) yang bergerak di sektor energi sangat tertekan kinerjanya.Turunnya harga minyak (termasuk gas dan batu bara) telah menyebabkan kinerja ekspor dan penjualan mereka tertekan. Di sisi lain,pelemahan nilai tukar rupiah telah menyebabkan mereka mengalami kerugian signifikan akibat selisih kurs.Berbagai kondisi inilah yang menyebabkan outlook pertumbuhan ekonomi Indonesia 2015 tidak akan mencapai seperti ekspektasi pemerintah. Terlebih lagi, perekonomian kita masih menghadapi masalah struktural yang belum kunjung terpecahkan. Joseph E Stiglitz, pemenang Nobel ekonomi belum lama ini, mengatakan, "You will have stronger growth if you reduce inequality". Itu artinya, dengan tingkat rasio ketimpangan (Gini ratio) sebesar 0,41 (terburuk sejak Indonesia merdeka), memang sulit kita berharap pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa tinggi. Tampaknya, kita memang masih harus "bersabar" lebih lama lagi.
Bila proyeksi ekonomi AS diperkirakan lebih rendah maka sebaliknya dengan kawasan Eropa dan Jepang. Kedua perekonomian ini diperkirakan tumbuh lebih baik pada 2015. Kebijakan quantitative easing (QE) yang diambil oleh kedua perekonomian ini menjadi faktor utama di balik perbaikan proyeksi pertumbuhan ekonominya. Kebijakan QE Eropa dan Jepang telah menyebabkan mata uang mereka melemah sehingga mendorong laju ekspor mereka. Kebijakan QE juga menyebabkan tingkat suku bunga menjadi lebih rendah sehingga laju investasi meningkat. Dan, sebagai oil net importer, rendahnya harga minyak juga menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi Eropa dan Jepang.
Dalam konteks Indonesia, hal yang sama juga terjadi. Faktor harga minyak dan nilai tukar masih akan tetap menentukan perkembangan ekonomi Indonesia ke depan. Dalam outlook-nya, IMF masih memproyeksikan pada 2015 ini ekonomi Indonesia tumbuh 5,2 persen tidak berubah dibanding outlook-nya pada Januari lalu. Namun, dalam outlook-nya, IMF menuntut agar Indonesia memperkuat kredibilitas kebijakan makro ekonomi dan makroprudensialnya agar mampu mengendalikan pergerakan nilai tukar rupiah.
Kinerja harga minyak dan nilai tukar rupiah memang cukup berpengaruh terhadap perekonomian nasional. Turunnya harga minyak turut membantu neraca perdagangan Indonesia. Kinerja neraca perdagangan Indonesia Januari-Maret 2015 mencatatkan surplus 2,43 miliar dolar AS, meningkat 129 persen dibanding periode yang sama 2014 yang surplus sebesar 1,06 miliar dolar AS.
Peningkatan kinerja neraca perdagangan ini terutama berasal dari menurunnya impor migas dari sebesar 11,0 miliar dolar AS pada periode Januari-Maret 2014 menjadi sebesar 6,1 miliar dolar AS. Tidak dapat dielakkan bahwa rendahnya harga minyak berada di balik turunnya impor migas tersebut.
Sayangnya, pelemahan nilai tukar rupiah tidak cukup membantu memperbaiki kinerja neraca perdagangan Indonesia. Ekspor Indonesia Januari-Maret 2015 mencapai 39,13 miliar dolar AS, turun dibanding periode yang sama 2014 yang mencapai 44,29 miliar dolar AS. Secara normatif, pelemahan nilai tukar rupiah seharusnya meningkatkan ekspor. Namun yang terjadi, pelemahan rupiah tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal karena permintaan yang berkurang dan harganya jatuh. Akibatnya, pengaruh positif dari pelemahan rupiah ini tidak terlalu kuat dibanding dengan turunnya permintaan dan jatuhnya harga.
Secara mikro dampak pelemahan nilai tukar rupiah dan harga minyak ini juga sudah terlihat. Beberapa perusahaan (terutama BUMN) yang bergerak di sektor energi sangat tertekan kinerjanya.Turunnya harga minyak (termasuk gas dan batu bara) telah menyebabkan kinerja ekspor dan penjualan mereka tertekan. Di sisi lain,pelemahan nilai tukar rupiah telah menyebabkan mereka mengalami kerugian signifikan akibat selisih kurs.Berbagai kondisi inilah yang menyebabkan outlook pertumbuhan ekonomi Indonesia 2015 tidak akan mencapai seperti ekspektasi pemerintah. Terlebih lagi, perekonomian kita masih menghadapi masalah struktural yang belum kunjung terpecahkan. Joseph E Stiglitz, pemenang Nobel ekonomi belum lama ini, mengatakan, "You will have stronger growth if you reduce inequality". Itu artinya, dengan tingkat rasio ketimpangan (Gini ratio) sebesar 0,41 (terburuk sejak Indonesia merdeka), memang sulit kita berharap pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa tinggi. Tampaknya, kita memang masih harus "bersabar" lebih lama lagi.
KESIMPULAN :
Berdasarkan indikator
diatas terlihat bahwa kesejahteraan masyarakat berkurang. Konsep pembangunan yang ditawarkan jokowi
adalah rencana-rencana jangka panjang namun disisi lain dalam jangka pendek ini
(6 bulan awal pemerintahan jokowi) terlihat gejolak ekonomi yang cukup
mengkahawatirkan maka mustahil untuk mencapai target jangka panjang apabila
target jangka pendek tidak stabil. Oleh sebab itu pemerintah sebagai policy maker
harus mengambil tindakan untuk menstimulus kegiatan ekonomi seperti mengkaji
ulang kebijakan subsidi tetap yang lebih banyak mudharatnya, serta menstabilkan
harga kebutuhan pokok utamanya beras yang sempat melambung tinggi diawal tahun.
SARAN :
Dengan demikian dapat kita sarankan kepada
pemerintah dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Beberapa
negara sedang berkembang mengalami ketidak stabilan sosial, politik, dan
ekonomi. Ini merupakan sumber yang menghalangi pertumbuhan ekonomi. Adanya
pemerintah yang kuat dan berwibawa menjamin terciptanya keamanan dan ketertiban
hukum serta persatuan dan perdamaian di dalam negeri. Ini sangat diperlukan
bagi terciptanya iklim bekerja dan berusaha yang merupakan motor pertumbuhan
ekonomi.
2. Ketidak
mampuan atau kelemahan sektor swasta melaksanakan fungsi entreprenurial yang
bersedia dan mampu mengadakan akumulasi kapital dan mengambil inisiatif
mengadakan investasi yang diperlukan untuk memonitori proses pertumbuhan.
3. Pertumbuhan
ekonomi merupakan hasil akumulasi kapital dan investasi yang dilakukan terutama
oleh sektor swasta yang dapat menaikkan produktivitas perekonomian. Hal ini
tidak dapat dicapai atau terwujud bila tidak didukung oleh adanya barang-barang
dan pelayanan jasa sosial seperti sanitasi dan program pelayanan kesehatan dasr
masyarakat, pendidikan, irigasi, penyediaan jalan dan jembatan serta fasilitas
komunikasi, program-program latihan dan keterampilan, dan program lainnya yang
memberikan manfaat kepada masyarakat.
4. Rendahnya
tabungan-investasi masyarakat (sekor swasta) merupakan pusat atau faktor
penyebab timbulnya dilema kemiskinan yang menghambat pertumbuhan ekonomi.
Seperti telah diketahui hal ini karena rendahnya tingkat pendapatan dan karena
adanya efek demonstrasi meniru tingkat konsumsi di negara-negara maju olah
kelompok kaya yang sesungguhnya bias menabung.
5. Hambatan
sosial utama dalam menaikkan taraf hidup masyarakat adalah jumlah penduduk yang
sangat besar dan laju pertumbuhannya yang sangat cepat. Program pemerintahlah
yang mampu secara intensif menurunkan laju pertambahan penduduk yang cepat
lewat program keluarga berencana dan melaksanakan program-program pembangunan
pertanian atau daerah pedesaan yang bisa mengerem atau memperlambat arus
urbanisasi penduduk pedesaan menuju ke kota-kota besar dan mengakibatkan
masalah-masalah social, politis, dan ekonomi.
6.
Pemerintah dapat menciptakan semangat
atau spirit untuk mendorong pencapaian pertumbuhan ekonomi yang cepat dan tidak
hanya memerlukan pengembangan faktor penawaran saja, yang menaikkan kapasitas
produksi masyarakat, yaitu sumber-sumber alam dan manusia, kapital, dan
teknologi;tetapi juga faktor permintaan luar negeri. Tanpa kenaikkan potensi
produksi tidak dapat direalisasikan.
REFERENSI :
http://www.kompasiana.com/yullhan/lesunya-perekonomian-di-awal-rezim-
jokowi_55554675b67e612d2b908c6b
NAMA KELOMPOK : Dyna Fawaza (22212340)
Elma Anugrah Destrianti (22212464)
Feni (22212890)
Kharisma Aulia Aditya (24212083)